Hetalia: Axis Powers - Liechtenstein

Beranda

Jumat, 20 Desember 2013

Fanfic: Awal Taruhan Setan Heh?





Hallo minna-san. Kali ini aku coba bikin fic nih. Aku harap ini akan jadi awal yang bagus. Berdoa mulai! *e-loh?*

Disclaimer: Masashi Kishimoto serahkan Kyuu eh…Naruto padaku?! *nodong pistol* XD
Reted: K+
Genre: Humor/Friendship
Pair: Naru X sasu, slight Kyuu X naru
Warning: Oneshot, OOC, straight, AU, gajenes, alur maksa, Naruto POV, typos, de el el
Don’t like, don’t read!

Satu lagi hari yang cerah dimana aku menjalani hidupku seperti remaja pada umumnya. Sekolah, bermain, belajar, lalu tidur, esoknya pun sama. Hari ini benar-benar membuatku bersemangat. Kurasa tidak apa jika hari ini aku memakai sepatu roda dari pada memakai sepeda motor. Toh, hari ini masih terlalu awal, kepagian gitulah untuk seorang Tuan Muda Namikaze yang teramat keren. Lagi pula sekolah tak begitu jauh dari rumah. Yah, itung-itung ikut mendukung aksi pengurangan global worming-lah.
“Kaasan(1), aku berangkat!”
“Jangan lupa bekalnya!”
“Ya, aku tau. Jaa!”
Hmm... rupanya pemandangan di sekiar rumah bagus juga. Kenapa aku baru sadar? O.M.G, betapa lambannya otakku memproses semuanya. Setiap keluar rumah kan aku slalu main kebut aja sampai tak sadar akan keindahan pemberian dari Kami-sama(2). Lebay ah.. Gak juga kok!
“Eh...!” Sepertinya baru saja aku mendengar sesuatu.
“Wushhh...!” Nyaris saja sebuah motor menyentuh dengan kasar tubuh yang kusayangi ini. Untung aja kemarin Gai-sensei(3) mengajariku senam kelenturan. Yah, walaupun menyakitkan, tapi nyatanya ada hasilnya kan? Menyadari hal itu, aku memasang mimic serius dan mengangguk sesekali.
Selesai dengan acara diskusiku, kuedarkan pandangan ke arah benda tak hidup yang hampir menabrakku beberapa detik yang lalu. Benda itu berhenti beberapa meter di depanku dan si pengandara turun, berjalan ke arahku. Dengan bangga aku lipat kedua tanganku di depan dada, ku pasang indra pendengarku dengan baik tuk menunggu sepatah-duapatah kata ungkapan penyesalan dari pemuda yang kini menghampiriku.
“Ctakk...”
“Itaii(4)...” Kusadari ada rasa sakit di kepalaku. Apa-apaan ini? “Apa yang kau la-...”
“Kalau jalan, jangan di tengah, Dobe, “potongnya seenak jidat.
Aku hanya tersenyum getir, masih merasa sakit di kepala. “Kau taruh di mana matamu? Di dengkul heh? Jelas-jelas aku memakai sepatu roda, bukannya berjalan. Sekarang siapa coba yang bodoh, Teme?
“Heh... itu sama saja. Lagi pula...” dia tersenyum setan kearahku. “Ctakk...” Kurang ajar! Dia menambahkan lagi jitakannya dan yang ini lebih sakit. “Mata itu adanya di kepala, bukan di dengkul, usuratonkachi!”
Dengan itu, ia melenggang pergi sementara aku meringkuk menahan sakit. Apa dia tak punya rasa bersalah sedikitpun? Hidupku yang sempurna ini, kini tlah tercoreng olehnya. “Emangnya siapa dia? Umurnya aja paling seumuran ama aku. Beraninya denganku, anak paling terhormat dan tampan di kota ini. Ditambah memanggilku dengan sebutan Dobe lagi, “narsisku sekenanya. Ah sial, aku harus segera ke sekolah. Gara-gara dia juga, hampir aku menabrak seorang nenek tua er… maksudku Tsunade-baachan, pakai marah-marah pula sama aku.
Tepat empat puluh satu detik sebelum gerbang Konoha High School ditutup. Capeknya, lagi-lagi acaranya kebut-kebutan. Parah banget si nenek marah gak ada habisnya lagi. Sempat kepikiran mau langsung ngacir, tapi hal itu hanya akan buat nama klanku tercoreng. Hah... sama saja.
“Ohayou(5), Rambut Jabrik! Kok baru nyampe?” Ini dia soulmate aku yang paling sering jalan maen bareng, Kiba.
“Heh, bukannya biasanya juga jam segini?”
“No, no! Biasanya kan rata-rata elo dateng satu menit lebih tiga puluh lima detik sebelum gerbang di tutup.”
“Ooh...” Sementara aku ber-oh-ria, jauh di dalam hatiku ada sesuatu yang aku pikirkan tenteng sahabatku tercinta di sampingk ini. Dia merupakan murid yang mungkin lebih pandai dariku, hanya saja ia selalu kurang bisa menempatkan kepandaiannya. Yah, kejadiannya baru saja. Padahal di kelas ia hanya termasuk murid yang biasa-biasa. Nah, kalau aku beda lagi. Istilahnya perfect-lah. Lah gimana coba aku pinter, juara satu malah, trus tampan, hiperaktif, keren, banyak temen, kaya lagi. Hehehe...
“Heh, ngapain senyum-senyum sendiri, mulai gila ya?”
“Nani(6)? Enak aja, dua ratus persen masih waras tauk! Udahlah, yuk ke kelas!” Kami pun berjalan beriringan dan setelah beberapa langkah aku berhenti.
“Ning nong ning dluur gedubyak jdarr der duaar.”
“Hah, bunyi apa itu, Kib, ”tanyaku sedikit ragu.
“Kamu ni, gimana sih,” tanyanya balik, “itukan bunyi bel masuk skulah kita.”
“Ouch, iya. Karya guru music kita yang baru itu kan? Tapi aneh juga, masak skulah elite gini bel-nya ancur gitu?
“Entahlah.” Mendegar jawabannya, aku hanya manggut-manggut nge-disco.

--------------------------------------------------------------------------

“Selamat pagi, anak-anak!
“Pagi Kakashi-sensei, ” jawab seluruh siswa serempak disaat seorang guru memasuki kelas.
“Sensei, kok gak biasanya, tepat waktu? Padahal biasanya juga telat pakai alasan macem-macem lagi. Tersesat di kerumunan oranglah, nganter nenek nyebrang jalanlah. Duh, repot!” protes Sakura.
Dengan innocent-nya sensei bertanya “Hah, apa iya? Maaf, tapi aku harus segera mengurus surat pemindahan murid baru, jadi setelah ini kalian akan diberi tugas. Kau yang ada di sana, masuklah!”
Walaupun masih bingung dengan kalimat-perkalimat yang dilontarkannya, tapi yang jelas seluruh penghuni kelas, kecuali sensei tentunya merasa dag-dig-dug dengan kalimat terakhirnya. Seperti orang yang telah menyatakan perasaannya pada orang yang dicintainya. Berlebihan memang, tapi itulah kenyataannya. Semua mata tertuju pada pintu depan kelas yang tergeser. Kulihat kaki yang melangkah masuk. Sepatu putih, celana bermotif kotak-kotak, dasi yang senada, serta blazer berlambang sekolah Konoha Gakuen dengan pin yang menggantung di saku, ah... itu seragam sekolah. Kuamati kembali dan kudapati rambut raven bak pantat ayam serta poni yang-...
“Owh, shit...Kau...!” Aku berteriak histeris bak melihat kuntilanak lewat tanpa permisi menyadari murid baru itu adalah orang yang seenaknya menjitak kepala pirangku tadi pagi.
“Brakk...”
“Namikaze-san! Jika tak bisa diam, silakan keluar!”
Mendengar itu dari wali kelasku, kulipat jari telunjukku yang tadi sempat mengacung ke arah...siapa tadi? Teme? Ya dia, dan kembali duduk di kursi kesayanganku dengan mimic shock, tak percaya dengan kejadian barusan. Sempat terlihat olehku senyum setan menyebalkan terukir di wajah bastardnya. Andaikan kelas ini hanya ada aku dan dia, bisa aku pastikan seratus persen dia akan mati detik ini juga. Tapi, tentu saja hal itu tak kan terjadi.
“Kenalkan dirimu!” Teme mengangguk hormat pada sensei, chuih... dan menghadap ke arah siswa, termasuk aku.
“Namaku Uchiha Sasuke, mohon bantuannya,” sapanya sok ramah sambil memberi angukan kecil pada kami semua. Tentu aku tak peduli dengan apa yang dia katakan. Beberapa siswa ber-sweatdrop-ria dan para siswi tersipu malu.
“Hooh, baiklah. Kalau begitu duduklah dengan si beruk berisik itu!”
What? Apa aku tidak salah dengar? Beruk, sensei bilang? Apa tidak ada kata yang lebih jelek lagi? Parahnya lagi aku akan terus bersama dengan orang yang slalu mengenakan topeng stoic dan menyebalkan. Diawali dengan perkenalan itulah, dimulailah hari-hari di mana mimpi buruk menghampiriku.

--------------------------------------------------------------------------
Dua minggu sejak jumpa pertama aku dan Teme. Dan hari-hariku selalu dia yang mewarnainya. Jangan berharap itu pelangi karna yang kutemui adalah kebalikannya.
“Hey Teme, aku mau bilang sesuatu!” Ia melirikku dengan mata sinisnya sejenak, lalu melanjutkan acara membacanya dan kuyakini pula ia sedang mendengarkan alunan music dari headset-nya.
“Hn.”
“Eh!” Aku terdiam sejenak, kaget juga teryata ia jadi pendengar yang baik, setidaknya untuk saat ini. Kemudian, kembali aku membuka suara, ”Kau tau kan kita slalu bertengkar? Kenapa kita tak hentikan saja semua ini, err... bagaimana?”
“Hn.”
“Serious?”
“Hn.”
“Yeaaah, banzai(7)!” Setelah ber-banzai-ria layaknya Dora dan Boots yang baru selesai menjalankan misinya, aku kembali duduk manis sambil tersenyum seperti malaikat yang baru tiba bersama komet helly. Diriku tersentak saat rival yang baru saja kunobatkan sebagai sahabat beberapa detik yang lalu, kembali bergumam.
“Hn.”
“Heh?”
“Hn, aku mengerti, aku segera keluar.” Diriku seperti tersruduk banteng yang diimpor langsung dari Spanyol. Aku kira dia-...ahg! Segera kulempar buku-buku yang ada di meja, tapi bukannya mengenainya malah sukses mencium lantai mengkilat bin bersih yang baru saja ia pijak. Bahkan saat aku kehabisan barang yang ada di meja, sempat kupegang notebook-ku sendiri, sebelum kusadari sesuatu.
“Ergh... Teme Bastard!” Untuk kesekian kalinya aku berteriak sekeras yang aku bisa hanya karena dia, lebih tepatnya karena ulahnya. Kudapatkan tatapan teriak-lagi-kukirim-kau-ke-RSJ dari beberapa orang di sekelilingku. Yah, itulah tatapan langgananku sejak aku mengenal Teme.
“Bukk... Bukk... Bukk...” Berulang kali kuhantamkan kepalaku ke tempat tas punggungku berada. Tak lupa kulayangkan mantra sumpah serapah pada makhluk terkutuk yang telah membuatku seperti ini. Tak kupedulikan pula tatapan yang tadi kudapatkan. Satu alasan kenapa aku lebih memilih melayangkan kepalaku ke tas punggung dari pada ke tembok atau meja. Alasannya sudah jelas. Itu tidak menyakitiku. Joba saja kau jedorkan kepalamu ke dinding atau meja, pasti sakit. Aku kan jenius, pilih-pilih dong. Lagian aku tak mau menyakiti diriku hanya karena oleh makhluk bastard sepertinya.

-------------------------------------------------------------------
Suasana kelas hari itu mendadak ramai karena guru fisika batal mengajar. Shikamaru sedang menulis daftar soal yang harus diselesaikan anak-anak besok sambil menggerutu tidak jelas. Gadis-gadis muda sedang asyik berbincang menjurus ke arah gosip. Lain lagi dengan anak-anak pria yang terlihat mengerubungi meja Hinata untuk menyalin PR Biologi yang akan dikumpulkan setelah jam pelajaran fisika selesai. Semuanya terlihat sibuk dengan tugas ataupun teman. Ada lagi, aku masih marah dengan dia atas kejadian beberapa waktu lalu.
“Hey, Baka Dobe, ”panggilnya sedikit memelankan suaranya. Aku meliriknya dengan mata ayam dan pura-pura tak dengar. Niatku sih mau balas dendam karena Teme selalu cuek setiap kali aku bicara. Tampaknya ia ingin meminta bantuanku, tapi apa ya? Pervert kan lebih pandai dariku, oh... mungkin mau pinjam sesuatu. Rasakan pembalasanku Pervert.
“Hey, “panggilnya sedikit lebih keras. Chih, rupanya ia mau merayuku, buktinya ia menghilangkan kata ‘baka’ dalam lidahnya. Sadar juga ia membutuhkan diriku, tapi aku masih diam menunggu sampai ia berlutut padaku sambil memohon. Wakakaka... aku bisa mati tertawa membayangkan hal itu.
“NAMIKAZE NARU-!” Baru saja sebuah lengkingan harmonisasi lagu bagaikan mengetuk gendang telingaku bagian kanan. Spontan aku berdiri tegak dan aku merasa sakit pada bagian bahu.
“Aw, aw, aw..., “kuucapkan lafal ala iklan di tivi yang menawarkan seporsi makanan renyah. Segera aku cari tau apa yang terjadi barusan. What the fact? Aku memandang ngeri pada bagian belakang kursiku. Seharusnya sih tak ada siapa-siapa di belakangku, mengingat aku duduk di kursi paling belakang. Skali lagi. What the fact? Sesosok guru yang amat aku cintai, Hinata tersungkur beberapa kaki dari kursiku. Apa? Siapa yang berani membuatnya jadi begini? Siapa yang membuatnya harus manahan rasa sakit di bagian dagu dan perutnya? Siapa, katakan padaku! Tak ada jawaban yang menyahut.
Pada akhirnya aku berdiri di samping koridor. Perasaan puas, sedih, dan kecewa bercampur menjadi satu. Puas karna aku dapatkan semua jawaban dari pertanyaan yang kulontarkan tadi. Sedih dan kecewa karna nyatanya pelaku yang menyakiti guru paling cantik di skolah ini adalah, adalah aku. Benar. Akulah orangnya. Aku yang membuat dagunya yang panjang itu terluka karna bahuku ini. Aku yang membuat sensei harus meringkuk akibat menahan sakit pada bagian perutnya. Perut yang tak segaja terkena kursi yang mundur mendadak karena aku berdiri spontan. Tapi, tapi itukan bukan sepenuhnya salahku. Kenapa juga sensei harus berada di belakangku sambil berteriak begitu.
“Arghhh..., ”geramku, mengacak-acak rambut blondeku yang sudah sejak awal terlihat berantakan.
“Hey, kau yang berdiri di sana, diamlah, “perintah seseorang dari kelas sebelah dan berhasil menghadiahiku dengan lemparan kertas.
“Heh, jangan buang kertas itu sembarangan.” Tiba-tiba ada petugas ketertiban yang kebetulan lewat. “Kau seorang Namikaze kan, ”tanyanya. Aku mengangguk pertanda mengiyakan jawaban. “Sungguh memalukan, ”sambungnya lagi berkomentar.
“Errgh..., ”geramku kembali setelah cukup jauh anak itu melangkah, tapi dengan suara yang lebih kecil tentunya. Aku tak mau dipermalukan lagi. Akhirnya, bel sekolah pun berbunyi dengan anehnya. Jika saat ini keadaanku tidak begini mungkin aku akan berteriak kegirangan. “Sial, sial, sial!” rutukku dalam hati. Satu-persatu siswa keluar ruangan hendak menuju ke kantin atau beristirahat di luar. Setelah suasana agaknya mulai lenggang, kuhampiri Teme itu. Aku tak peduli dengan orang-orang yang memandangku aneh. Aku tidak peduli nama margaku yang akan tercoreng nantinya. Aku sudah tidak tahan.
“Bastard!” Ia mendengar geramanku dan menoleh. Aku hanya terus berjalan menghampirinya. Kugenggam erat kerah bajunya menggunakan satu tangan dengan kuat. Aku tak peduli, biar ia merasakan sakit juga. ”Heh... Teme tengik, kau memang pantas kusebut Bastard,” teriakku di depan mukanya, “Puas kau merebut kebahagiaanku? Puas kau mengejekku? Puas kau selalu menyakitiku? Apa tidak cukup itu semua untukmu? Jangan diam saja, jawab?” Aku benar-benar naik pitam.
“Err, hey sebaiknya kau-...”
“Diam kau! Aku tak sedang bicara denganmu,” potongku sebelum Kiba menyelesaikan kalimatnya, tanpa menoleh.
“Dengar Teme, aku sedang tak main-main denganmu. Kau ini hanya sebagai pengganggu di sini,” suaraku mengecil saat mengatakannya, “ Jadi, lebih baik kau tak pernah berada di sini lagi,” teriakku kembali. Aku menghempaskannya kembali ke tempat tadi ia duduk, dengan kasar. Puas dengan hasil karyaku, aku pergi menuju kantin sekolah. Aku lelah. Sempat terdengar suara beberapa meja dan kursi yang tergeser cepat. Bisa aku pastikan beberapa anak menghampiri Teme. Chuih, tak sudi aku memperdulikannya.
Saat aku kembali ke kelas, aku tak lagi melihat batang hidungnya. Mungkin Teme membolos, pengecut. Dia memang pandai bahkan untuk urusan membolos di sekolah setenar ini. Dan... lebih baik aku memanfaatkan waktu yang langka ini sebaik-baiknya karna dia tak akan bisa menggangguku. Tapi, aneh juga teman-temanku seperti sedikit menjauh dariku. Apa mereka takut? Setauku mereka bukan orang seperti itu. Apa mungkin iya? Memang sih, baru pertama kali aku marah dan berbicara menusuk hati seperti itu. Sebenarnya kesalahan siapa semua ini?
----------------------------------------------------------------------

Sudah kesekian harinya ia tak masuk. Dan untuk kesekian kalinya juga aku merenung. Apa aku terlalu keras padanya? Dia kan laki-laki. Apa aku salah? Dia yang mulai kok. Apa semua menyalahkanku? Tidak ada tanda-tandanya tuh. Saat pelajaran aku tak bisa focus, hingga aku lebih memilih membolos. Sebaiknya aku menunggu jam pulang sekolah sebelum pulang ke rumah.
“Tadaima(8)!”
“Okaeri(9), Bocah! Kenapa kau bolos hari ini?” Aku terkejut setengah hidup, kakak setanku ternyata baru pulang ke rumah.
“Ah, Kyuu. Kapan pulang dari Suna? Ibu mana? Dan kenapa kau selalu tau apa yang kulakukan?” Aku duduk di samping orang yang mirip denganku hanya saja rambutnya sedikit lebih merah.
“Kau belum jawab pertanyaanku, Bocah,” cercanya sinis sambil baca koran dan menguyah apel.
“Haahh, menyebalkaaan...!” Sempat aku mencari sebuah bantal yang biasanya tergeletak di sofa. Hasilnya nihil. Benar saja, Kyuu yang pegang. Jadi aku bangkit dari kursi dan menuju kamar. Membanting pintu dengan keras. “Dan aku bukan lagi bocah,” teriakku di dalam kamar.
Duduk di pintu jendela yang tengah terbuka. Mengindahkan taman yang berada di bawah dan langit biru memukau jauh di atas sana. Awan berarak lembut, angin berhembus sejuk, dan mentari bersinar dengan cerah sebagai penyeimbangnya. Diperlengkap dengan burung-burung yang terbang satu arah menuju ke satu belahan bumi. “Meouw...” Aku melihat Kyuu sedang bermain dengan Shurui, piaraan kebanggaan keluarga Namikaze. Walaupun masih kecil dan belum bisa mengaung sempurna, tapi Kyuu sangat menyukainya. Aku iri melihat mereka bersenang-senang tanpaku, jadi aku turun dan ikut bergabung.

“Hey Bocah, ada kalanya anak kecil lebih berguna dari pada seorang polisi.” dengan memasukkan tangan kesaku celananya, Kyuu pergi. Aku tersenyum tulus melihat punggungnya yang mulai tak tampak, senyumnya juga sempat mengembang. Sok keren, walaupun sebenarnya ia memang selalu terlihat keren. Bahkan, diriku ini mengaguminya sejak kecil. Hihi…Aku tertawa kecil mengingat satu kalimat barusan dan memandang Shurui.
“Masak iya, lebih baik? Kata-kata setan yang benar-benar menyesatkan.” Aku melempar batu kecil ke belakang Shurui dengan sekuat tenaga, “Pluk, pluk, pluk...” Kembali aku teringat Teme, sudah empat hari ia tak masuk sekolah.
“Hai, Shurui. Tunjukan kalau kau bisa lebih baik dari seseorang yang menyandang status polisi!”
“Meoww.” Kuhabiskan waktu satu perdelapanrotasi bumi bersama Shurui. Masih setia mataku mengetesnya, mengawasi setiap gerakan dan menyatukannya dengan ragaku, bahkan mungkin jiwaku. Sepertinya Kyuu benar. Ah, tidak. Hampir, setelah satu lagi tes kuberikan.
“Hahh... Shirui, apa aku sebaiknya meminta maaf padanya, ya?”
“Meoww!” Entah apa yang sebenarnya ia katakanya, tapi Shirui seperti tersenyum ceria dan mengatakan, “Gambatte, Oji-sama(10)!” Terakhir, ia meloncat kearahku dan mencoba menggodaku lagi.
“Hahaha... baik aku mengerti. Kau memang licik. Kau lulus, Shirui. Akan kusuruh pelayan untuk membuatmu senang hari ini.” Aku menggelitik dagunya dan pergi. Saat berbelok, lagi-lagi aku sempat melihat kaus hitam lengan panjang yang dikenakan Kyuu.
“Dasar, stalker setan,” dengusku. Baru saja aku memujinya, ia sudah membuatku jengkel. “Arigato(11),” kataku terucap pelan serta menyunggingkan seulas senyum. Mungkin sudah ke-1945 kalinya Kyuu membuatku tersenyum, ehm... maksudku 1946. Habis kan 1945 lebih serasa bernasionalisme gitu.
“Staring at the scars left from a fight, you say
Stop trying to get with her already
Men say that they understand
I want to say that I don't believe it.”
Aku mendegar suara yang berasal dari ponselku yang berada di atas meja belajar. Rupanya Kiba, padahal tadi juga baru ketemu di skolah. “Moshi-moshi(12)!”
“Nar, aku minta sebaiknya kamu cepat keluar rumah dan kejar dia! Tadi aku baru saja lihat mobilnya di penuhi dengan semua barang pribadi miliknya menuju ke arah bandara dan...”
“Stop! Dare(13)?”
“Anu, itu... Teme mu-...”Belum selesai Kiba mengkhiri kalimatnya, aku bergegas pergi mengambil kunci mobil merah milik Kyuu. Kebetulan dia memakirnya di halaman rumah setelah ia gunakan.
“Kyuu, aku pinjam mobilnya,” kataku seraya berlari menuju mobil. Tapi langkahku terhenti saat ia berhasil menahanku.
“Nggak akan. Memangnya udah berapa kali kamu lecetin mobilku, heh?”
“Ayolah, ini suasananya beda. Lagi pula, ambil saja mobilku kalau mobilmu tidak kembali dengan selamat. Plis, Kyuu demi satu-satunya otouto(14)-mu tersayang ini!” Aku melayangkan puppy eyes no jutsu ku yang sudah kulatih sejak bertahun-tahun padanya.
“Heh, pergi sana! Aku pegang janjimu.” Yeay, Kyuu memang paling tak bisa menolak puppy-ku atau karna urusan mobil, ya? Entahlah hanya Kyuu dan author yang tau. Aku pun pergi dengan membawa restu darinya.

--------------------------------------------------------------------------------

Mobil demi mobil aku cermati dan kudapat apa yang sedari tadi aku cari. “Hei, Teme berhenti Kau!” Aku yakin ia mendengar jelas perkataanku dan tahu siapa aku. Pedal gas yang berada dibawah sana kuinjak lebih dalam. Sedikit lagiii... Loh knapa malah semakin kukejar semakin kau jauh? Kukumandangkan suara Richi ‘Five Minute’ di beberapa kata. Ouh, shit! Dia mau mengajakku balapan rupanya. Belum tau dia, siapa pemegang juara balap liar di wilayah ini. Akulah or... maksudku adik orang yang menjadi juara itu. Gak jauh beda kan? Lagi-lagi aku menambah kecepatanku dan melewati beberapa kendaraan sekaligus dan begitu pula dengan Teme. Alhasil, kami balapan di jalan tol. Terdengar bunyi yang tak asing lagi bagiku. Huhh... ternyata polisi. Belum juga masalahku selesai, datang lagi yang lain. Rupanya Kami-sama tak memberikan aku banyak waktu. Harus di selesaikan secepatnya. Akan kulakukan sekarang. Aku tahu Teme juga pasti bisa. Entah untuk yang keberapa kalinya aku memperdalam injakan pedal gas mobil ini. Aku yakin, ini akan jadi yang terakhir untuk balapan sore. “Seeet...” Mataku dan Teme terbelalak. Oh, bukan hanya kami ternyata, tapi semua orang yang menyaksikannya. Kami berhenti pada jarak kurang dari dua meter. Lalu, tanpa membuang waktu lagi aku turun dan mulai beraksi.
“Huwaaa... Teme maapkan daku yang telah menyakitimu, plisss... jangan pergi tinggalkan Kota Konoha gara-gara aku,” pintaku mendramatisir seraya sembah sujud dihadapannya, “Ya, maapin ya! Aku kan tak pernah dibenci ama orang dan aku gak mau mengawalinya seka-...”
“Jangan bergerak dan ikut kami ke kantor sekarang juga!” Aku dan Teme memenuhi setengah perintah polisi yang bicara tadi. “Kenapa diam? Ayo cepat jalan!”
“Anda ini bagaimana sih, katanya tadi jangan bergerak,” Teme angkat bicara. Aku manggut-manggut. Memang dia bastard, tapi kali ini ia tak salah bicara.
“Aduh, sebenarnya siapa sih di sini yang tidak punya otak,” Pak polisi bertanya tak jelas pada siapa. Lagi-lagi aku dan Teme kompak, kali ini untuk urusan angkat bahu.
Tempat pemberhentian kali ini adalah kantor polisi. Kami diintrogasi layaknya penjahat kelas kakap dan diberi surat peringatan yang sebenarnya sudah sering aku dapatkan. Tentu itu semua belum cukup untuk bisa bebas. Masing-masing harus membayar denda sebesar seratus ribu yen. Teme sih tenang-tenang aja dan membayarnya langsung. Lah, aku tak sempat bawa dompet tadi.
“Baik, karna kamu masih ngutang jadi... mobilmu kami sita sebagai jaminan, mengerti! Dan satu lagi kamu juga boleh pulang.” Aku menangguk seperti anak umur lima tahun yang baru diiming-imingi permen lollipop. “Doumo arigato gozaimasu, permisi,” kataku sambil menyunggingkan seyum paling lebar sampai-sampai aku ketagihan dan ingin terus tersenyum.
“Duh, apa Teme udah pulang ya? Padahal dia kan belum jawab permintaan maaf aku. Trus masak aku pulang jalan kaki? Hah... sepertinya iya.” Aku berjalan sambil menendang-nendang kaleng yang tak berdosa sedikitpun. Tiba-tiba ada mobil yang menyamai langkahku. “Huft, Teme.” Sungguh ekspresi apa yang harus kupasang, kaget, senang atau marah. Dia kelihatan menyebalkan dalam keadaan seperti ini.
“Kalau tidak mau naik ya sudah.”
“Eitss... tunggu, tunggu, tunggu!” Sungguh peristiwa tak terduga, langka, dan harus dimusiumkan sekarang juga karena saking langkanya. Saat ini aku sedang berada satu mobil dengan Teme dengan tujuan mengantarkan aku pulang. Kemudian aku menyadari sesuatu. “Err... jadi,” tanyaku langsung.
“Hn, tapi kau harus menerima hadiah persahabatan dariku, bagaimana?”
“Kamu ngomong apa sih, tentu aja aku akan menerima tanda pertemanan kita dengan amat sangat senang ria gembira beribukali, Teme. Mana,” tanyaku sambil mengangkat tangan, minta-minta.
“Dasar usuratonkachi, kau mau mengajakku mati bersamamu, huhh?” Aku menepuk jidatku sendiri. Teme kan lagi nyetir. Dan setelah beberapa menit dan detik silih berganti, sampailah aku di rumah yang ku tinggali selama bertahun-tahun.
Untuk sekali lagi aku mengulurkan tangan meminta hadiah yang ingin ia berikan padaku. Ternyata ia nanti mau memberikan kejutan lewat sms aja. Malah jadinya terkesan mirip perempuan, pakai kejutan segala.
“Ok, Teme... maksudku Sasuke. Gomen(15) sudah merepotkan dan arigato tuk tumpangannya. Jaa!” Oh, senangnya tidak ada musuh lagi. Poselku bergetar, sebuah sms masuk.
Hey Dobe, besok q n Kiba akan liburan k hawai n u jdi komandan utama barang bawaan n pelayanan d sana, OK!,,,,,,,,btw problem yg u anggep itu perselisihan, sebenarnya q n Kiba yg bwt rencana. Qt g nyangka u sebodoh ni, By Sasuke cuaakep.
“Uapaaahh... jadi slama ini Teme pura-pura, Kiba juga ikutan lagi. TemKib sialaaaannnn!”
“ Udah slese?”Suara itu-
“Heh, pasti Kau udah tau semua sejak awal kan?”
“Hnnn, hasilnya gak buruk. Mobil loe jadi milik gue, ya-ha!” Aku bungkam seribu bahasa masuk ke kamar. Menyebalkanaannnn...
Pagi harinya kami pergi ke Hawai dan Kyuu juga ikut, bawa mobil lagi. Mau balapan pastinya, nyoba tantangan baru. Aku pun hanya jadi pesuruh, termakan oleh janjiku. Sebenarnya aku bisa beranggapan tak peduli pada perjanjian itu karena saksi mata selain aku dan Teme tidak ada. Naasnya nasibku, rupanya Kiba mengambil gambarku pas aku sembah sujud Teme. Mungkin ini akan jadi awal taruhan kami berempat. Aku benar-benar benci kebodohankuuuuu......!!!!!



~~~~~~~~~~~~~~~~~Owari~~~~~~~~~~~~~~~~

Nah bagi yang blom ngerti artinya silakan tengok kosakata berikut:
1.ibu 2.Tuhan 3.guru 4.sakit 5.selamat pagi 6.apa 7.berhasil 8.aku pulang 9.selamat datang 10.berusahalah, tuan 11.terima kasih 12.hallo 13.apa 14.adik laki-laki 15.maaf
Kalau bahasa inggris silakan cari artinya dimana aja. He…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar